Kapal Merah Putih berlambang Garuda harus kembali menepi, sebelum melanjutkan pelayaran menuju pelabuhan selanjutnya. Nahkoda baru dipersiapkan untuk mengarungi derasnya arus dan gelombang, menuju pelabuhan besar, Indonesia Emas.

Ada tiga calon nahkoda yang dipersiapkan. Namun hanya satu yang berhak memimpin pelayaran, berdasarkan kehendak penumpang kapal besar bernama Indonesia. Ketiga calon yang dimaksud adalah Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo.

Di balik proses pemilihan, ketiga kandidat harus berlomba-lomba merebut hati pemilik suara, agar bersedia memberikan kepercayaan terhadapnya. Bersolek tentunya menjadi senjata paling ampuh untuk meluluhkan hati konstituen. Citra agamis, moderat, maupun merakyat, masih menjadi kosmetik yang dianggap paling ampuh menutupi noda maupun kerutan di masa lalu.

Sayangnya, suara paling menjanjikan pada pemilihan kali ini adalah suara pemilih muda, yang berasal dari kalangan milenial maupun generasi Z. Bukan tanpa alasan, pemilih muda ini mencakup 52 persen dari total daftar pemilih tetap yang mencapai 204.807.222 jiwa. Artinya, bersolek saja tidak cukup untuk bisa merebut kalangan yang cenderung kritis terkait calon pemimpinnya.

Adanya media sosial pada musim politik kadang bikin frustasi, bukannya dimanfaatkan sebagai sarana menggali informasi, justru seringnya dijadikan ruang perpecahan.

Namun demikian, ada satu ruang paling ideal untuk mengkampanyekan diri, dalam merebut suara pemilih muda tersebut. Yakni media sosial. Atribut kampanye yang dipasang di jalan dan ruang-ruang publik bahkan dianggap kalangan ini sebagai metode kuno yang kurang efektif.

Peluang ini pun dimanfaatkan para kandidat untuk menggaet suara pemilih muda. Mereka berlomba-lomba membentuk tim untuk bisa memanfaatkan media yang dipenuhi angka-angka algoritma seperti Instagram, Tiktok, Twitter, dan sebagainya. Layanan live streaming tak luput mereka manfaatkan untuk mencitrakan mereka adaptif dan tidak gaptek.

"Saya melakukan riset sebelum menggunakan hak suara saya dengan melacak track recordnya, mengetahui visi-misinya, serta menganalisis keberpihakan dari partai-partai pengusungnya, semuanya ada di media sosial, di internet," kata salah seorang pemilih muda, asal Garut, Ihsan Mud (25) kepada Republika.id beberapa waktu lalu.

Namun ternyata, ada hal yang tak bisa dihindarkan dari fenomena tersebut, yaitu konflik horizontal. Fitnah, hujatan, cacian, hingga debat kusir sangat sering membanjiri laman media sosial. Para pendukung fanatis sering kali bersitegang, hanya untuk meyakinkan jagoannya layak menang.

"Adanya media sosial pada musim politik  itu kadang bikin frustasi, bukannya dimanfaatkan sebagai sarana menggali informasi, justru seringnya dijadikan ruang perpecahan,"  ujar Komika asal Kabupaten Garut yang merantau di Ibu Kota tersebut.

Setelah pemilihan nahkoda memasuki babak akhir,  suka ataupun tidak suka, seluruh penumpang kapal besar bernama Indonesia harus legowo menerima hasilnya. Karena kapal tersebut harus terus berlayar mengarungi samudera menuju pelabuhan besar, Indonesia Emas. Tugas nahkoda baru adalah harus bisa merangkul seluruh penumpang kapal, memperbaiki setiap kerusakannya, agar kapal tidak karam sebelum tiba di pelabuhan selanjutnya.

Foto dan Teks

Thoudy Badai

 

Editor

Edwin Putranto

 

Desain

Baskoro Adhy

top

Citra dalam Bayang Maya